Inspirasi terbesar yang diwariskan pesantren ke dalam diri setiap
penghuninya adalah dinamikanya yang tidak pernah mati. Datanglah jam
berapapun, ada geliat aktifitas merancang perubahan di dalamnya. Dua
puluh empat jam sehari sungguh tidak cukup untuk mewadahi cita-cita
perubahan yang dikibarkan pesantren. Penghuni pesantren telah terpola
untuk mempunyai etos kerja, etos keilmuan dan integritas moral melampaui
ruang dan waktu.
Tidak perlu ada upaya mobilisasi, begitu
terdengar lonceng berdentang enam kali, seluruh santri kelas enam
berkumpul. Tidak perlu ada pengawas, selama target kerja kepanitiaan
belum tercapai, semua penanggungjawab berjibaku rawe-rawe rantas tak
peduli jam berapa. Semua dinamika berlangsung gegap gempita seiyeg saeko
kapti tanpa iming-iming honor atau penghargaan lain. Satu-satunya
penghargaan adalah kesuksesan tugas.
Untuk sekedar tidur
sejenak, pesantren tidak punya waktu. Mari kita telusuri sudut-sudutnya
di larut malam saat sebagian besar makhluk telah lelap. Jam 22.00 ketika
manusia biasa mulai gosok gigi, mencuci kaki dan berangkat ke peraduan,
lihatlah manusia luar biasa; remaja belia mungil-mungil itu berangkat
membawa tongkat, tali dan peralatan Pramuka. Kita menutup hari, mereka
membuka kesibukan merangkai tongkat-tongkat, mempersiapkan arena latihan
Pramuka esok hari.
Di sudut lain, sekelompok remaja belasan
tahun sibuk memainkan kuas di atas kertas-kertas semen untuk dekorasi
panggung pementasan seni. Sekelompok lainnya menyusun potongan-potongan
bambu untuk taman di sudut pesantren. Jam 24.00 ketika kelompok-kelompok
tadi mulai kembali ke asrama, beberapa petugas keamanan berpatroli
keliling pesantren menghampiri para santri penjaga malam di lebih dari
25 titik penjagaan.
Jam 02.00 ketika seharusnya tempat di mana
pun di negeri ini mencapai titik senyapnya, berpuluh, beratus anak kecil
bangun terhuyung melawan rasa kantuk untuk mempersiapkan ulangan besok
pagi. Dan jam 03.00 semakin banyak santri yang bangun. Lalu menjelang
Subuh, tidak ada lagi mata yang boleh tidur. Jam itu, tidur masih
diperbolehkan hanya dalam deretan antrian berwudhu. Sambil bersandar di
tembok atau jongkok di bawah jemuran adalah sekelumit waktu bagi para
santri mencuri jam untuk terpejam. Seperempat jam sebelum adzan Subuh,
semua mata harus segar dan segera memulai hari itu dengan seluruh
rutinitas.
Lembaga pendidikan mana yang mampu menandingi
dinamika ini? Sekolah mana yang muridnya mampu menyelenggarakan Drama
Arena dan Panggung Gembira dengan biaya, variasi pementasan, dekorasi,
kreatifitas dan terutama kemandirian selevel yang terjadi di pesantren?
OSIS sekolah mana yang pengurusnya mampu menggerakkan ribuan santri
dengan perputaran keuangan ratusan juta rupiah? Energi apa yang membuat
uang ratusan juta itu tidak dikorupsi ke kantong-kantong pribadi? Apa
yang membuat mereka bisa? Dinamika kehidupan yang tidak pernah berhenti
berputar telah mencetak mereka menjadi serupa dengan ribuan, jutaan
semut yang sanggup mengangkat beban puluhan, ratusan kali lipat dari
berat tubuhnya. Jutaan semut santri itu bergerak, beraktifitas, berperan
dalam dinamika kolektif yang padu.
Dinamika itu pula yang
perlahan namun pasti menyulap pesantren di tengah hutan desa itu menjadi
istana tersembunyi yang tidak berhenti memperbesar diri. Kalau anda
tidak sempat berkunjung dalam kurun satu tahun, pasti dikejutkan oleh
kemunculan gedung-gedung baru. Sungguh seperti terbit dari bumi. Kalau
kunjungan terakhir Anda adalah dua tahun yang lalu, Anda dikejutkan oleh
dua atau tiga sepeda motor baru yang parkir di hampir setiap rumah guru
kader. Kalau terakhir Anda datang tiga tahun yang lalu, sepeda motor
itu tinggal satu saja, sebagai gantinya, sebuah mobil parkir di garasi.
Kesejahteraan materi begitu murah di pesantren. Kesejahteraan materi itu
adalah buah dari kegigihan dan berkah dari kolektifitas yang
dikembangkan.
Tetapi inilah justru titik rawannya: kesejahteraan materi.
Dinamika kehidupan pesantren berputar begitu deras di atas pondasi
ketulusan, sama sekali jauh dari kepentingan duniawi. Ketulusan itu
membuat haru kerajaan malaikat dan mereka tergerak untuk turun
melipatgandakan energi para santri. Terwujudlah keajaiban itu: satu
santri bernilai seribu orang. Sehingga empat ribu santri berkarya setara
dengan prestasi empat juta pekerja. Percepatan ini adalah energi
ketulusan. Dinamika ini adalah derap kaki tentara Tuhan yang tidak
terlihat, ’junuud lan tarauhaa!’ Tetapi kesejahteraan materi adalah
perangkap.
Kesejahteraan materi adalah jebakan. Kemapanan adalah ancaman.
Pesantren kecil dibesarkan oleh dinamika perjuangan dan demonstrasi
ketulusan. Sekarang pesantren besar tengah menghadapi bahaya besar:
degradasi ketulusan. Dulu para kader tidak berebut harta karena saat
pesantren masih kecil, harta yang ada tidak cukup menggiurkan. Sekarang
semua potensi untuk sejahtera dimiliki pesantren. Inilah kerawanan itu:
semua kader rawan tergelincir ke dalam kubangan motivasi dan spirit
duniawi. Bila ini terjadi, pesantren yang sudah besar bukan mustahil
menjadi bangkai banteng gemuk yang diperebutkan Heina, Harimau dan
burung-burung... Bila ini terjadi, tentara Tuhan yang tak terlihat itu
akan minggat, tinggallah empat ribu penghuni pesantren setara dengan
empat puluh pekerja berkualitas ala kadarnya.
Fakta sejarah
menegaskan keruntuhan pesantren bukan akibat konfrontasi dengan dunia
luar melainkan kegagalan menjaga kemenangan atas diri sendiri. Para
Kyai, waspadalah, waspadalah!
*Pengasuh dan Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo.
اللهم اشفه شفاء عاجلا، أنت الشافي لا شفاء إلا شفاءك شفاء لا يغادر منه سقما ولا ألما، آمين .
(Sumber: status pada group Wali Santri Gontor, Gontor News)
Sumber
Sumber
Posting Komentar